sorot matanya tajam menembus tabir kebohongan
pemilik nada bicara yang lugas dan apa adanya
tiada surut menerjang dinding tirani kekuasaan
menjunjung tinggi martabat rakyat yang menderita
runtuhkan dominasi konglomerat terhadap kaum melarat
upeti sekarung tak akan bisa lagi membeli keputusan
peraturan adalah buku suci yang tak boleh dikotori
keadilan adalah tiang utama yang musti ditegakkan
turun ke kali mencari dimana liang masalah bersembunyi
menyusuri sudut dusun tuk berbincang dengan akar rumput
memeluk anak anak angsa yang kehilangan tempat bermain
bercerita tentang warna pelangi mengukir masa depan mereka
kelopak matanya tak berkedip meski sepucuk pistol mengancam
sebab mati dalam mengemban tugas adalah sebuah keberuntungan
senantiasa berdiri tegak kibarkan bendera bertulis kata ‘TIDAK’
tak punya rasa ngeri musti kehilangan jabatan dan kedudukan
wanita perkasa adalah empunya jiwa yang lembut dan teduh
membelai penuh kasih setiap helai daun cemara yang resah
pelabuhan hati bagi semua jiwa yang kehilangan jati diri
lentik lampu lentara perlahan menuntun arah jalan terang
gemerlap baju kebesaran rela ditanggalkan
menyusup kedalam kolong parit yang mampat
wajahnya kusam tersaput butir debu jalanan
membongkar simpul macet agar bebas melenggang
wanita perkasa tak pernah sedikitpun merasa lelah
semangat menggelora bagai nyala api sepanjang masa
hingga badai politik menghantam dari segala arah
membuatnya terdiam dan tak tahu harus bagaimana
terbersit sebuah keinginan untuk kembali pulang
pergi tinggalkan semua kemunafikan dan kezaliman
namun didalam hatinya masih teringat wajah rakyat
yang menjerit menahan perih terlindas roda kehidupan
wanita perkasa itu termangu di suatu pagi
sesekali menatap wajah langit yang muram
berharap tetes embun segera turun membasahi
jiwanya yang kering dibawah sinar temaram
didalam bilik hatinya tengah terjadi pertempuran
antara cahaya nurani melawan tugas dan kewajiban
airmatanya menetes membasahi selimut peraduan
berharap datangnya petunjuk Ilahi penentu jalan
wahai wanita perkasa
meski badai melanda
kau musti sanggup bertahan
lihatlah mata anak anak angsa yang sayu
dengarlah jeritan para ibunya yang pilu
merindu belaian kasih sayangmu
slalu menunggu uluran tanganmu
.oOo.
Tribute to Ibu Risma, Walikota Surabaya